Imam Syafi’i sang ‘Founding Father’ Madhzab Syafi’i

Namanya harum dan abadi sebagai salah satu pendiri madzhab fiqih terkemuka dengan pengikutnya yang tersebar di berbagai wilayah di penjuru dunia. Selain dikenal sebagai pendiri madzhab Syafi’i, beliau juga dikenal sebagai pencetus ushul fiqih pertama dengan lahirnya karya beliau berjudul al-Risâlah. Kecerdasan yang dimilikinya pun tergolong luar biasa. Konon dalam usia 7 tahun sudah menghafal al-Qur’an, pada usia 10 tahun telah hafal kitab al-Muwaththa’ Mâlik, dan mendapat lisensi untuk menjadi mufti (pemberi fatwa) pada umur 15 tahun.
img wikimedia.com

Kelahiran dan Nasab Imam Syafii

Nama lengkap beliau adalah Muhammad bin Idris bin Abbas bin Utsman bin Syafi’i bin Saib bin Abdul Yazid bin Hasyim bin Abdullah bin Abdul Manaf. Beliau populer dengan nama Imam Syafi’i. Beliau lahir di Ashkelon (Asqalan), Gaza, Palestina, pada tahun 150 H./767 M. Konon kelahiran beliau bertepatan dengan kewafatan Imam Abu Hanifah di Baghdad yang oleh banyak pihak kemudian disimpulkan bahwa kelak Imam Syafi’i akan mengikuti derajat ilmu Imam Abu Hanifah.

Karir Intelektual Imam Syafii

Saat berumur dua tahun, ayahanda Imam Syafi’i meninggal dunia. Sang bunda kemudian membawanya ke Mekah, tanah leluhur beliau. Disana Imam Syafi’i banyak belajar syair dan ilmu fiqih. Saat di Mekah ini beliau banyak menimba kepada para ulama seperti Imam Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ yang tidak lain adalah pamannya sendiri, dan Sufyan bin Uyainah. Dalam usianya yang baru meginjak 15 tahun, Imam Syafi’i oleh gurunya yang bernama Muslim bin Khalid al-Zanji diberi lisensi untuk memberi fatwa.

Saat berada di Mekah ini, Imam Syafi’i pernah meminjam kitab al-Muwaththa’ karangan Imam Malik bin Anas untuk dihafal dan dipelajari. Imam Syafi’i ingin bertemu dengan Imam Malik bin Anas di Madinah untuk belajar ilmu kepada beliau sehingga beliau memutuskan untuk pergi ke Madinah.

Mengembara ke Madinah dan Berbagai Tempat

Imam Malik bagaikan sang superstar dalam benak Imam Syafi’i. Hal ini terlihat dari pujian beliau “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Di lain kesempatan Imam Syafi’i pernah berkata “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Imam Malik menjadi bintang di majelis itu.”

Setelah merasa cukup di Madinah, Imam kemudian pergi dan menetap sebentar di Yaman untuk belajar fiqih. Kemudian melanjutkan perlawatan ke Baghdad untuk belajar kepada Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Keduanya adalah kawan sekaligus murid almarhum Imam Abu Hanifah. Setelah beberapa lama berada di Baghdad, Imam Syafi’i melanjutkan petualangan mencari ilmu ke berbagai negara seperti Persia, seluruh wilayah Irak, sampai ke sebelah utara Konstantinopel, Heran, Palestina, dan berbagai kota lainnya. Kemudian kembali ke Madinah untuk menjenguk guru beliau Imam Malik bin Anas dan membantu gurunya mengajar disana.

Pada tahun 181 H. beliau kembali ke Mekah tempat beliau dibesarkan oleh ibunya. Berselang 17 tahun kedatangan beliau di Mekah, terdengar kabar kewafatan Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan. Imam Syafi’i kembali hijrah ke Baghdad untuk mengajarkan ilmu dan kemudian berniat untuk berpindah ke kota Mesir. Kedatangan Imam Syafi’i di Mesir mendapat sambutan luar biasa dari para ulama negeri pyramid itu dan di negeri inilah beliau wafat pada akhir bulan Rajab tahun 204 H.

Teladan Hasanah Imam Syafi’i

Imam Syafi’i memberi pelajaran penting kepada kita semua melalui nasehat-nasehat dan teladan beliau. Di antaranya adalah:
Menghormati guru
Imam Syafi’i berkata, “Aku membuka lembaran buku di depan Imam Malik dengan pelan-pelan supaya beliau tidak mendengar suara dari lembaran kitabku.” Konon ketika sowan kepada Imam Malik, Imam Syafi’i berkata, “Wahai tuanku, aku telah membaca kitab Muwaththa’ sampai hafal.” Imam Malik menjawab, “bacalah!” lalu Imam Syafi’i membaca dan Imam Malik menyimaknya. Ketika Imam Syafi’i khawatir Imam Malik lelah, maka beliau berhenti. Mendengar bacaan terhenti, Imam Malik berkata, “Teruskan wahai anak muda, aku akan memperbaiki bacaanmu.”

Memikirkan masalah umat
Imam Syafi’i memiliki semangat tinggi untuk menyelesaikan problem umat. Hal ini dapat dilihat dari kisah putri Imam Ahmad yang mengeluh tentang tingkah laku Imam Syafi’i yang ganjal saat beliau berkunjung ke rumah Imam Ahmad. Putri Imam Ahmad mengatakan kalau memang Imam Syafi’i adalah orang yang alim dan bertakwa, tetapi kenapa sebagai ulama dia makan banyak sekali, ketika malam di kamar juga tidak melakukan shalat malam dan tahajud, berikut esoknya ia menjadi imam saat shalat subuh tetapi tidak berwudhu?.

Imam Ahmad pun bertanya pada Imam Syafi’i untuk mengklarifikasi, “Benarkah apa yang dikatakan oleh putri saya itu?” Akhirnya Imam Syafi`i terpaksa jujur dan memberi penjelasan agar tidak ada lagi kesalahpahaman. “Wahai Imam Ahmad, aku makan banyak karena mengetahui bahwa makanan yang kalian hidangkan itu adalah jelas makanan yang halal dan kau adalah seorang laki-laki mulia. Sedangkan makanan orang mulia dan halal adalah obat. Hal itu berbeda dengan makanan orang kikir yang dapat menjadi penyakit. Jadi, aku makan tidak untuk memuaskan selera, melainkan aku makan atas dasar untuk berobat dengan makananmu.”

Imam Syafi’i meneruskan, “Adapun mengenai malam yang aku lewatkan tanpa shalat tahajud, karena saat merebahkan kepalaku (untuk tidur) aku melihat seakan kitab Allah  dan sunah Nabi ada di depan mataku sehingga aku menemukan kesimpulan tujuh puluh masalah fiqh yang bermanfaat bagi kaum muslimin dan tak ada kesempatan untuk melakukan shalat malam.” Imam Syafi’i pun meneruskan, “Sedangkan berkenaan dengan shalat subuh tanpa wudhu, sebenarnya karena sepanjang malam itu aku tak tidur sama sekali dan tidak ada sesuatu yang membatalkan wudhuku maka aku akhirnya shalat subuh dengan wudhu isya’.” Mendengar penuturan tersebut, Imam Ahmad berkata kepada putrinya bahwa apa yang dilakukan Imam al-Syafi’i lebih baik daripada aktifitas ibadah yang dilakukan Imam Ahmad malam itu.

Komitmen Di Jalan Sunah dan Anti Bid’ah
Sikap Imam Syafi’i yang menjunjung tinggi sunah ini dapat dilihat dari wasiat beliau yang diperuntukan untuk beliau sendiri dan orang-orang yang mendengarnya. Beliau berpesan untuk tetap menghalalkan sesuatu yang dihalalkan Allah dalam kitab beserta Nabi-Nya dan mengharamkan sesuatu yang diharamkan dalam kitab berikut sunah utusan-Nya. Janganlah melampaui batas-batas ketentuan yang dihalalkan maupun yang diharamkan, dan orang-orang yang melampaui batas ketentuan itu berarti meninggalkan kewajiban yang ditetapkan oleh Allah.

Diriwayatkan dari Abu Ja’far al-Tirmidzi, ia mengatakan, “Saat aku ingin menulis kitab yang berisi tentang pemikiran, dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Rasulullah. Aku bertanya kepada beliau, ‘Wahai Rasulullah, apakah aku perlu menulis pemikiran Imam Syafi’i?, Nabi menjawab, ‘Itu bukanlah pemikiran, tetapi itu adalah bantahan terhadap orang-orang yang menentang sunah-sunahku.”

Mulai Dari Spiritualitas sampai Sosialitas
Imam Syafi’i dikenal dengan orang yang giat dalam beribadah dan memiliki jiwa sosial tinggi. Konon ketekunannya dalam beribadah tidak ada yang menandingi. Bahr bin Nashr mengatakan, “Di masa Imam Syafi’i, aku belum pernah melihat dan mendengar orang yang bertakwa dan memiliki wira’i melebihi Imam Syafi’i. Begitupun aku juga belum pernah mendengarkan ada orang yang melantunkan al-Qur’an dengan suara yang lebih bagus darinya.”

Dalam lingkup sosial, Ibnu Abdil Hakam mengatakan bahwa, “Imam Syafi’i merupakan orang yang paling dermawan terhadap sesuatu yang dia miliki. Ketika beliau melewati tempat kami dan tidak melihat diriku, maka ia meninggalkan pesan agar aku datang kerumahnya. Oleh karenanya aku sering makan siang dirumahnya. Saat aku duduk bersamanya untuk makan siang, maka beliau menyuruh budak perempuannya agar memasak makanan untuk kami. Beliau menunggu di meja makan hingga kami selesai makan.”

Al-Rabi’ menceritakan bahwa pernah juga suatu ketika Imam Syafi’i melewati pasar dengan menunggang keledai, maka tanpa beliau sadari cemeti ditangannya jatuh mengenai seorang tukang sepatu. Ia pun turun mengambil cemeti dan mengusap orang tersebut dan berkata kepada al-Rabi’ untuk memberikan uang dinar yang ada padanya untuk diberikan kepada tukang sepatu tadi. Al-Rabi’ menuturkan, “Aku tidak tahu, enam atau sembilan dinar yang aku berikan kepada tukang sepatu tersebut”.

Nasehat Imam Syafi’i

Imam Syafi’i selain dikenal dengan karya keilmuan baik dalam bidang fiqih, ushul fiqih, ahkam al-Qur’an dan lain-lain, beliau juga dikenal sebagai orang yang piawai dalam bersyair dan merajut kata mutiara. Diantara kata-kata mutiara beliau adalah, “Ilmu bukanlah sesuatu yang dihafal, tetapi ilmu adalah sesuatu yang ada manfaatnya”.

Beliau juga pernah berkata, “Ilmu itu (bagaikan) binatang buruan, Sedangkan mencatat adalah pengikatnya, Ikatlah hewan-hewan buruanmu dengan tali yang kuat, Adalah bodoh sekali jika anda memburu seekor kijang, kemudian kau membiarkannya (tanpa diikat) sehingga ia lepas begitu saja di antara hewan-hewan buruan lainnya.” Karakter ilmu seperti buruan yang dijelaskan oleh Imam Syafi’i inilah yang harus disadari oleh setiap penuntut ilmu agar ilmunya menancap kuat dihati. Beliau memberi nasehat bahwa ilmu layaknya binatang buruan yang mudah lepas. Dengan mencatatnya, maka hal itu adalah upaya agar ilmu tidak lepas. Pada kesempatan lain Imam Syafi’i juga berkata, “Empat hal yang bisa menambah (kecerdasan) akal: Meninggalkan perkataan yang berlebihan, Menggunakan siwak, Bergaul dengan orang-orang baik, dan mengamalkan Ilmu.”

Menggunakan I’tibar Dalam Penjelasan

Metode Imam Syafi’i dalam menjelaskan dalil tentang wujud Allah beliau lakukan dengan cara memberi contoh-contoh dan analogi-analogi yang unik. Sebagaimana yang diceritakan oleh Imam Syafi’i berikut. “Tujuh orang zindik berjumpa denganku di jalan menuju Ghaza. Mereka pun bertanya, ‘Apa bukti adanya Pencipta?’. Aku menjawab, ‘Jika aku mengemukakan bukti yang memuaskan, apakah kalian mau beriman?’ Mereka menjawab, ‘Ya’. Aku pun menjawab, ‘Daun pohon Tut, rasanya, warnanya, dan baunya sama, dimakan oleh ulat maka yang keluar dari perutnya adala benang sutera, dimakan oleh lebah yang keluar adalah madu, dimakan oleh kambing yang keluar adalah kotoran. Yang dimakan sama, maka keluarannya (output) seharusnya juga satu jenis yang sama. Tetapi perhatikanlah bagaimana keadaan itu berubah, niscaya itu adalah kreasi Pencipta Alam Yang Maha Kuasa untuk merubah semuanya.”[]
“Di masa Imam asy-Syafi’i, aku belum pernah melihat dan mendengar ada orang yang bertaqwa dan wira’i melebi Imam asy-Syafi’i. Begitu juga aku belum pernah mendengarkan ada orang yang melantunkan al-Qur’an dengan suara yang lebih bagus darinya.”Bahr bin Nashr

Post a Comment